Posted by : muchamadsamiaji
Jumat, 17 Juni 2016
Pengertian
Religiusitas
1. Definisi Religiusitas
Ada beberapa istilah untuk
menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda),
religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie
(Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu
bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat (Kahmad,
2002). Menurut Cicero (Ismail, 1997), relegare berarti melakukan sesuatu
perbuatan dengan penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang
dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan
kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri
mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan),
al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan),
al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan),
al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan
dan pemerintahan), al-tadzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh),
al-tha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan
mengesakan Tuhan) (Kahmad, 2002).
Dari istilah agama inilah
kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata sama, namun
dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan
religi atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan
aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi
yang telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982).
Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas
diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa
pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang
dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh
pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam (Fuad
Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, 2002).
Hawari (1996) menyebutkan
bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan
yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca
kitab suci.
Ancok dan suroso (2001)
mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai
macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang
didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan
itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya
ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan
manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan
yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang
dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu
kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan.
Berdasarkan uraian di atas,
bisa disimpulkan bahwa religiusitas adalah kedalaman penghayatan keagamaan
seseorang dan keyakinannya terhadap adanya tuhan yang diwujudkan dengan
mematuhi perintah dan menjauhi larangan dengan kaiklasan hati dan dengan
seluruh jiwa dan raga.
2. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Religiusitas
Religiusitas atau keagamaan
seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan keluarga,
pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil atau pada
masa kanak-kanak. Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat
pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan
teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama
baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah
mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak
akan merasakan betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan
pendidikan agama baik di rumah mapun di sekolah dan masyarakat, maka orang
tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa
menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo,
2004).
Thoules (azra, 2000)
menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas, yaitu:
a. Pengaruh pendidikan atau
pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua
pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan orang
tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap
yang disepakati oleh lingkungan.
b. Berbagai pengalaman yang
dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman
mengenai:
- Keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah)
- Adanya konflik moral (faktor moral)
- Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)
c. Faktor-faktor yang
seluruhnya atau sebagian yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan
ancaman kematian.
Perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada
orang lain. menurut Max Weber Perilaku mempengaruhi aksi sosial dalam
masyarakat yang kemudian menimbulkan masalah-masalah. Weber menyadari
permasalahan-permasalah dalam masyarakat sebagai sebuah penafsiran. Akan halnya
tingkatan bahwa suatu perilaku adalah rasional (menurut ukuran logika atau
sains atau menurut standar logika ilmiah), maka hal ini dapat dipahami secara
langusung.
Referensi lain menyebutkan bahwa
perilaku sosial merupakan fungsi dari orang dan situasinya.Dimaksudkan disini
adalah setiap manusia akan bertindak dengan cara yang berbeda dalam situasi
yang salam, setiap perilaku seseorang merefleksikan kumpulan sifat unik yang
dibawanya ke dalam suasana tertentu yaitu perilaku yang di tunjukkan seseroang
ke orang lain.
PENGARUH AGAMA PADA PRILAKU SOSIAL
Agama adalah pedoman perilaku
moral, maka agama adalah pemengaruh perilaku moral manusia karena
keyaqinan itu masuk ke dalam konstruksi kepribadian[6].
Sejauh mana efektivitas pengaruhnya tentu tergantung dari kuat mana antara
penyampai pengaruh dengan penerima pengaruh.
Setiap agama pasti memiliki
aturan atau perintah masing-masing agama yang harus di patuhi oleh segenap
pengikutnya. Dan aturan-aturan tersebut akan mempengaruhi pada tingkah laku
atau prilaku dari pengikutnya. Akan tetapi apabila dalam menjalankan perintah
atau atauran yang diberikan oleh agama dijalankan hanya karena meggugurkan
kewajiban belaka maka bisa saja prilakunya tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh agama. Salah satu contohny adalah ada orang yang ibadahnya
rajin akan tetapi mereka juga ahli ma’siat atau ahli berbuat kemunkaran.
Dewasa ini pula banyak perilaku
para pemeluk agama yang telah menyimpang jauh dari esensi ajaran agama itu
sendiri. Akibatnya, agama menjelma menjadi sosok yang seram dan menakutkan.
Padahal, esensi ajaran agama adalah cinta dan kasih sayang. Saat ini kita tidak
hidup di zaman perang dengan senjata sebagai alat utama. Kita sekarang berpijak
di era keterbukaan dan demokrasi. Seharusnya, yang tampak adalah sikap saling
membantu dan menebar kedamaian.
Dapat disaksikan perbedaan antara
orang yang beriman dengan ornag yang tidak beriman yang hidup
menjalankan agamanya, dengan orang yang tidak menjalankan agama atau
mejalankan agama dengan cara acuh tak acuh kepada agamanya. Pada wajah orang
yang beragama terlihat ketentraman batin, sikapnya dan perbuatannya tidak akan
menyengsarakan atau mnyusahkan orang lain, lain halnya dengan orang yang
hidupnya terlepas dari iktan agama atau tali agama, hidupnya akan mudah
terganggu oleh goncangan jiwa dan suasana.[7]
kalau kita mau berfikir secara
mendalam sebenarnya agama adalah sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling
kuat, sebagian jumlah besar moralitas sumber tatanan masyarakat dan perdamaian
batin dan individu sebagai suatu yang memulyakan dan yang membuat manusia
beradab.
Akan tatpi banyak sekali
tuduh-tuduhan yangsangat menykitkan telinga kita, mereka berpendapat bahwa
agama adalah sumber mpeghambat kemajuan manusia dan memepertinggi fanatisme dan
sifat tidak toleran, pegacuan, pengabaian, tahayul, dan kesia-sian, padahal
pandangan seperti itu adalah pandangan yang sanagt keliru.
Dan sebenarnya agama adalah
sebagai sumber penting dalam kebudayaan memberikan arahan dan bentuk pada
fikiran, perasaan, dan tindak tanduk manusia, bagaimanakah tidak tindakan ini
sudah susai ataukah belaum dengan masyarakat dan bagaimana akibatnya.[8]
Sedikit contoh tentang perintah
agama yang mempengaruhi pada kehidupan pemeluknya :
1. Perintah sholat pada pemeluk
agama islam
Shalat adalah sala satu perintah
dan juga rukun islam yang harus dilakukan oleh pemeluk agama islam ketika
mereka sudah baligh baik orang islam laki-laki ataupun perempuan, dan tidak
bisa diwakilkan ketika mereka masih hidup. Dan tanpa kita sadari ternyata
pelaksanaan perintah ini berpengaruh pada kehidupan pelakunya. Diantara
pengaruhnya adalah
ü Alokasi waktu
ü Pekerjaan atau kegiatan
disesuaikan agar tidak terjadi konflik
ü Kebanyakan tempat-temat belanja
dan gedung-gedung sarana umum didirikan tempat untuk sholat
ü Pakaian shalat
2. Perintah puasa pada agama Kristen
atau katolik
Punya tidak hanya untuk pemeluk
agama islam ternyata dalam ajaran agama Kristen juga mengenala yang namanya
puasa akan tetapi puasa mereka tidak sama dengan puasa yang dilakukan oleh
pemeluk agama islam, puasa yang dlaukakn oleh pemeluk agama Kristen dilakaukan
kurang lebih sekitar empat puluh hari sebelum atau sesudah hari paskah dengan
tidak makan daging, telur, keju, susu, dan tidak merokok. adapun pengaruhnya
terhadap pemeluknya diantaranya adalah :
ü Pengeluaran yang berkurang
3. Peringatan hari besar terhadap
pemeluk agama islam
Setiap agama mempunyai hari besar
yang haris diperingati oleh seluruh pemeluk agama tersebut. Dan ini berpegaruh
pada pemeluk agama tersebut. Adapun pengarihnya adalah :
ü Secara umum mereka bisa berkumpul
dengan keluarga, sanak saudara, dan handai taulan.
ü Saling memaafkan atas segala
kesalahan
ü Bertambahnya kebutuhan.
Dari sedikit contoh pengaruh
agama diatas dapat kita fahami bahwa agama memang memberikan pengaruh pada pola
hidup pemeluknya, dan yang pasti pengaruhnya adalah pengaruh yang positif bukan
pengaruh yang negatif, dan jika kita jumpai pelaku agama atau pemeluk agama
yang mungin melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan agama mereka itu bukan
berarti agama tersebut yang tidak tepat akan tetapi oknum dari pelaku agama
tersebut yang tidak mampu melaksanakan aturan aagam yang telah ada.
Dan mungkn kita juga pernah
melihat ada orang yang ahli ibadah akan tetapi mereka juga ahli dalam melakukan
kemunkaran, fenomena seperti ini adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi
dikalangan masyarakat kita ini karena merelka melakukan aturan agama atau
perintah agama yang mereka peluk hanya karena sekedar menggugurkan kewajiban
atau mungkin hanya karena faktor-faktor kedunian saja.
http://jalurilmu.blogspot.co.id/2011/10/religiusitas.html